20080513

I Love Batik, Are You?

-vlisa.com-
Batik sedang booming. Di mana-mana, terutama di metropolitan, terlihat orang-orang pakai batik. Ya lelaki, perempuan, tua muda, bahkan para remaja. Tak cuma di acara-acara resmi (menghadiri perkawinan, dan lainnya), tapi juga di kantor-kantor, jalan-jalan di mal.

Tak dinyana, batik yang selama ini dianggap busana tradisional, telah melejit jadi “seragam” sehari-hari. Model dan warnanya pun makin beragam dan cute.

Pemandangan yang nampak di pameran batik Inacraft di Jakarta Convention Center, Senayan, yang berakhir Minggu kemarin, makin mengukuhkan pamor batik. Betapa tidak, pameran yang digelar selama empat hari penuh itu sesak pengunjung, apalagi pada hari Sabtu dan Minggu. Antrean kendaraan menuju lokasi pameran mengular.

Padahal untuk bisa menikmati batik-batik dan barang-barang kerajinan di di situ, pengunjung dipungut biaya masuk Rp 10.000 per orang. Tiket masuk, susahnya mencari parkir, tampaknya tak menyurutkan para pecinta batik -– yang umumnya juga berbusana batik saat mengunjungi pameran itu — untuk berjejalan di JCC. Semua tumpek bleg berburu batik.

Batik memang fenomena yang menarik. Nasib batik berubah drastis justru setelah diklaim Malaysia sebagai karya seni negeri jiran itu. Sontak setelah itu, demam batik pun melanda Indonesia. Para produsen, desainer, baik besar maupun kecil, semuanya seakan kena hipnotis, untuk “membudidayakan” batik.

Semua orang tampaknya sudah menganggap batik sebagai bagian dari miliknya. Dan masyarakat luas -– terutama kalangan menengah atas -– sudah tak canggung lagi berbusana batik di pelbagai kegiatannya, misalnya arisan, kongko di kafe, dan sebagainya.

Sense of belonging masyarakat Indonesia tampaknya memang harus dibangkitkan melalui “ancaman”, miliknya diambil bangsa lain. Barangkali di bawah sadar kita memang menyadari bahwa batik adalah milik kita, warisan leluhur kita, sehingga ketika ada stimulan dari luar, sentimen itu pun muncul.

Reaksi itu mendatangkan banyak nilai positif. Masyarakat makin bangga pakai batik. Bisnis batik pun tumbuh dan merangsang munculnya pelbagai kreativitas, baik dari sisi desain maupun motif.

Kini batik bahkan tak cuma diaplikasi untuk baju. Sebuah produsen sepatu olahraga telah memproduksi sepatu dengan motif batik.

Pemerintah memang sudah lama mencoba memasyarakatkan batik, yakni sejak jaman Orde Baru. Seragam batik Korpri bagi pegawai negeri misalnya. Bahkan pada era 1990-an sempat ada kampanye bertajuk ACI – Aku Cinta Indonesia, yang tujuannya membangun kecintaan bangsa ini kepada produk-produk lokal.

Cara-cara seperti itu tampaknya justru membuat produk nasional, termasuk batik, malah kurang populer di kalangan masyarakat umum. Harus disadari bahwa strategi “militeristik” seperti itu kurang mempan untuk membangun sebuah kesadaran dan sense of belonging masyarakat akan kekayaan budaya kita.

Karenanya, mumpung tahun ini sedang dicanangkan Visit Indonesia Year, juga satu Kebangkitan Nasional, sudah saatnya kita membangkitkan nilai-nilai positif yang kita miliki. Bukankah Indonesia dikenal sebagai negara yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, memiliki keragaman seni dan budaya, juga kaya potensi alam?

Bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang ramah, murah senyum, bukan bangsa yang gemar bertikai, saling bunuh, bahkan sebagai sarang teroris.

Bagaimana membangkitkannya? Inilah yang perlu dipikir bersama. Banyak kasus menunjukkan jika sesuatu program di-endorse dari atas malah tak disambut oleh kalangan akar rumput.

Menyebarkan “virus” cinta Indonesia memang tak bisa dengan SK. Menyentuh emosi dengan bahasa hati, mungkin akan lebih berarti.

Bagaimana menurut Anda?